Lintasindo.id___Kota Bekasi
Tempat pembuangan akhir (TPA) Sumurbatu sejak dioperasikan tahun 2000-an dikelola secara open dumping. Metode yang riskan mencemari lingkungan hidup dan melanggar peraturan perundangan. Tetapi, mengapa metode open dumping itu dipertahankan hingga sekarang.
Pengelolan sampah yang buruk dan sangat buruk dan berkepanjangan menambah beban kerusakan ekologis, global warming dan climate change. Maka membutuhkan solusi yang konkrit, komprehensif dan tuntas, bukan solusi palsu (false solutions). Solusi palsu akan ciptakan bom waktu, korban Petaka Sampah!
Mengapa dan ada apa Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) tidak bertindak tegas dan cepat atas kondisi darurat klimaks tempat pembuangan akhir (TPA) Sumurbatu Kota Bekasi? Bukankan TPA ini masuk dalam radar KLH/BPLH dari 343 unit TPA open dumping? Apakah pencemaran dan perusakan lingkungan akan dibiarkan berlarut-larut hingga jatuh korban?
Belasan masalah serius menyelimuti TPA Sumurbatu. Sekarang kondisinya krisis atau darurat klimaks. Sampah TPA Sumurbatu sering longsor, apalagi ketika musim hujan. Sejak tahun 2015 TPA ini berulangkali longsor. Pada 2017 pasangan suami istri pemulung jadi korban tertimbun sampah. Juga mengurug sebanyak 115 makam warga, adanya protes keras warga, kemudian makam-makam itu dipindahkan ke TPU Pedurenan.
TPA Sumurbatu masih menjadi andalan dan tujuan akhir pengelolaan sampah Kota Bekasi. Berbagai kasus dari tahun ke tahun menimpa TPA Sumurbatu tidak dijadikan pelajaran, semua dilupakan begitu saja. Akibatnya masalah demi masalah menumpuk menjadi kompleks dan pelik. Pengelola TPA sudah kuwalahan!
Apa penyebabnya? Pengelolaan TPA belum menjadi prioritas utama. Anggarannya kecil. Kepala UPTD TPA tidak berkuasa memegang anggaran secara mandiri. Bisa juga karena bergantinya Kepala UPTD TPA sehingga kebijakan dan teknis berubah atau kepala baru belum memiliki pengalaman dalam bidang pengelolaan TPA.
Beberapa minggu lalu, gunung sampah zona III TPA tersebut longsor menguruk sebagian instalasi pengolahan limbah tinja (IPLT) Sumurbatu. Hari ini, 6 Oktober 2015 zona III TPA itu longsor lagi. Akibatnya, operasional IPLT terganggu, dan sekarang diduga sebagian tinjanya dibuang ke Kali Ciketing menuju Kali Asem. Jelas menjadi masalah tersendiri bagi lingkungan.

TPA Sumurbatu dengan luas 21 hektar kondisinya serius memprihatinkan. Setiap hari sampah yang dibuang sekitar 1.800 ton. Berbagai jenis sampah tersebut hanya ditumpuk dan ditumpuk saja. Ini bagian dari penerapan metode open dumping. Cara-cara kuno yang dilakukan di abad modern dan canggih ini.
Antrian truk-truk sampah memakan waktu panjang, 4-5 jam atau lebih untuk membuang ke zona aktif. Kondisi buruk tersebut menambahkan stress para sopir truk sampah. Bahkan, menimbulkan kemacetan hingga jalan Pangkalan 2/Raya Sumurbatu. Untuk mengatasi kemacetan, truk-truk sampah itu masuk ke jalan IPAL bersama di sebelah utara jalan Raya Sumurbatu.
Berbagai infrastuktur utama, seperti jalan utama dan drainase terurug sampah dan hancur. Terutama jalan dan drainase zona III dan IV menyempit dan hancur. Aliran leachate kemana-mana. Bahkan, pembuangan sampah sebelah timur zona IV, sampah dan leachate-nya merusak drainase, jalan umum dan ketika hujan membanjiri pemukiman warga. Berulang kali warga komplain tetapi tak digubris.
Praktis sampahnya tidak diolah. Pengelolaan TPA tersebut secara open dumping berdampak sangat besar terhadap pencemaran lingkungan (udara, tanah dan air) dan ancaman kesehatan masyarakat. Sejumlah warga mengatakan, pencemaran lingkungan sudah sangat parah (peringkatnya -2: sangat buruk).
Contoh pencemaran air permukaan dan air dalam (sumur) semakin parah. Kondisi air permukaan Kali Ciketing dan Kali Asem, warna airnya menghitam, berminyak dan berlemak, bau sekali, lebih-lebih pada musim kemarau.
Sejumlah parameter melebihi ambang batas baku mutu, juga terdapat sejumlah parameter bahan berbahaya dan logam berat. Akibat sebagian besar leachate-nya mengalir langsung ke kali. Situasinya ini melenyapkan biota air, bahkan ikan sapu-sapu pun terkapar.
Kualitas air Kali Ciketing dan Kali Asem berdampak pada kualitas tanah dan pertanian. Karena air kali itu dimanfaatkan untuk pertanian dan perikanan. Puluhan hektar sawah di wilayah Kelurahan Sumurbatu hilang, dikonversi jadi tempat pembuangan sampah, IPAL bersama, perumahan, dll.
Masalah serius lainnya masih ditemukan pembuangan limbah medis. Beberapa bulan lalu, dan belakangan masih ditemukan limbah medis dari beberapa rumah sakit. Berdasar temuan lapangan, limbah medis ini masuk dalam kategorial sampah borongan. Limbah medis kategorial limbah berbahaya dan beracun, dilarang dibuang ke TPA.
Menyimak persoalan di atas, pengelola TPA Sumurbatu dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi dengan jelas telah melanggar berbagai regulasi. Diantaranya Pasal 28 H UUD 1945, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No. 81/2012, Perda Kota Bekasi tentang Pengelolaan Sampah dan peraturan terkait.

Apa yang harus dilakukan?
Ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan dalam jangka pendek, menengah dan panjang dalam menyelesaikan darurat klimaks TPA Sumurbatu. Pertama, pekerjaan utama adalah melakukan pengelolaan sampah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Pengelolaan TPA Sumurbatu harus menggunakan metode sanitary landfill, metode ramah lingkungan. Sebab Kota Bekasi merupakan kota metropolitan, berpenduduk lebih dari 2,5 juta jiwa.
Kedua, yang paling utama sampah harus diolah dengan teknologi modern ramah lingkungan. Teknologi modern tersebut mampu mengolah dan mereduksi sampah hingga 80-90% atau 90-100%. Pilih teknologi yang siap pakai (proven technology) dan diterima masyarakat. Berbagai jenis dan tipologi teknologi siap pakai sudah tersedia. Katakan, bahwa teknologi tersebut terbukti berkualitas tinggi dan mampu mengolah sampah skala menengah dan besar.
Untuk mengatasi darurat TPA Sumurbatu, Pemerintah Kota Bekasi mendorong pembangunan fasilitas Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) kapasitas 1.000 ton/hari. Dengan rencana anggaran sekitar Rp 2,3 triliun (dari Danantara). Lokasinya di Kelurahan Ciketingudik, sekitar 1 km dari TPA Sumurbatu.
Menurut situs resmi Kota Bekasi, proyek ini menggunakan teknologi moving grate incinerator yang ramah lingkungan. Sistem Pengolahan Gas Buang yang memenuhi standar Direktif 2010/75/UE tentang emisi industri (IED), Leachate Treatment & WWTP yang memenuhi standar Permen LHK P.59/2016 & Permen LHK P.68/2016 dilaksanakan melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
Peran Pemkot Bekasi menyediakan regulasi mendukung investasi, perizinan dan teknis lainnya, memastikan lahan sesuai RTRW, konstruksi akses jalan dan Tipping Fee. Sesuai ketentuan dalam Perpres No. 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi PSEL dan Peraturan Menteri PPN/Bappenas No. 7/2023 tentang Pelaksanaan KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur. (Pemkot Bekasi, 26/8/2025).
Ketiga, masalah lingkungan hidup dan kesehatan warga sekitar harus menjadi perhatikan utama. Sehingga program-program/aktivitas pemulihan dan perlindungan lingkungan hidup harus menjadi pekerjaan utama. Contohnya, penataan dan cover-soil sampah, perbaikan manajemen dan pengolahan leachate secara profesional, IPAS harus dioperasikan 24 jam, perbaikan manajemen gas-gas sampah.
Selanjutnya, melakukan penghijauan dan membuat buffer zone serta ruang terbuka hijau (RTH), konservasi perbaikan kualitas air Kali Ciketing, Kali Asem, dan alurnya bawahnya, uji laboratorium air permukaan dan dalam, uji laboratorium tanah sekitar TPA, dll. Hasilnya disampaikan pada publik.
Keempat, pemuda dan warga sekitar meminta diutamakan dipekerjakan dalam TPA dan proyek-proyek pengelolaan sampah di wilayahnya. Jangan sampai mereka hanya jadi penonton dan terpinggirkan. Hal ini terjadi seperti kasus RDF TPST Bantargebang, pemuda dan warga terdekat hanya jadi penonton.
Kelima, kecilnya peluang bekerja di TPST Bantargebang, TPA Sumurbatu dan pabrik-pabrik terdekat boleh jadi disebabkan faktor rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) sehingga kalah bersaing dengan pendatang. Oleh karena itu warga Sumurbatu meminta dibangunnya fasilitas Sekolah Menengah Umum (SMU) dan perguruan tinggi.
Keenam, warga Kelurahan Sumurbatu minta adanya dana kompensasi dari Pemkot Bekasi seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Artinya, warga menuntut uang bau karena adanya TPA Sumurbatu. Uang bau dari DKI sebesar Rp 400.000/KK/bln habis hanya untuk beli air mineral gallon. Hal ini tak sebanding dengan dampak pencemaran lingkungan yang dirasakan warga setiap detik, menit, atau hari.
Ketujuh, sejalan dengan solusi penanganan sampah di hilir, harus diimplementasi di wilayah hilir. Harus dilakukan pemilahan dan pengolahan sampah di hilir/sumber sebagaimana mandat UU No. 18/2008. Kawasan-kawasan dan zona-zona pemilahan sampah harus mulai dibangun untuk pengolahan sampah secara integratif dengan menggunakan teknologi modern. Jika tidak rencana itu hanya bagus di atas kertas, sementara di lapangan tetap amburadul. Minggu (12/10/2025)
















Leave a Reply