Semarang, 3 Oktober 2025 | lintasindo.id – Di sebuah ruangan sederhana di Jalan Gedungbatu No.129, Semarang Barat, beberapa tokoh media dan organisasi masyarakat berkumpul. Suasana serius tapi penuh solidaritas terasa ketika DPW IWOI Jawa Tengah menggelar rapat koordinasi mendadak. Agenda utamanya hanya satu: membicarakan laporan Ketua RW 6 GTB Mijen terhadap narasumber media Warta In.
Kasus ini berawal dari kesepakatan damai yang sejatinya sudah terjalin. Namun tiba-tiba, laporan resmi masuk ke Direktorat Reserse Cyber Polda Jateng. Langkah ini sontak menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa perjanjian damai tak cukup menghentikan konflik?
Dalam rapat itu, Advokat Ahmad Dalhar, SH., MH., tampil dengan pernyataan tegas.
“Kami siap mendampingi. Persoalan jurnalistik tidak boleh ditarik-tarik untuk mengkriminalisasi narasumber,” ujarnya lantang.
Ketua DPW IWOI Jateng, Teguh Supriyanto, juga menguatkan. Baginya, peristiwa ini bukan sekadar masalah hukum, tapi ujian bagi kebebasan pers di Jawa Tengah.
“Kami tidak akan membiarkan anggota dan narasumber berjalan sendiri,” katanya.
Tak ketinggalan, suara dukungan datang dari DPW SNKB Jawa Tengah. Siti Nurjanah, yang juga berlatar jurnalis, menilai laporan semacam ini bisa menjadi preseden buruk.
“Kalau jurnalis atau narasumber terus diperlakukan seperti ini, siapa lagi yang berani bicara?” ungkapnya.
Ketika tim hukum dan Kaperwil Warta In mendatangi Polda Jateng, situasi justru makin membingungkan. Awalnya mereka menerima jawaban bahwa laporan tidak ada. Namun beberapa saat kemudian, fakta berbeda terungkap: laporan benar-benar terdaftar atas nama Ketua RW 6 GTB Mijen. Hanya berselang beberapa jam, surat panggilan pemeriksaan pun diterbitkan dan dikirimkan ke narasumber.
Kini, surat panggilan itulah yang menjadi sorotan. Kuasa hukum menilai ada banyak kejanggalan, mulai dari prosedur hingga isi dokumen. Rencananya, mereka akan melibatkan Propam Polda Jateng untuk menelusuri lebih dalam.
Kasus GTB Mijen ini bukan hanya soal satu laporan polisi. Di mata banyak jurnalis, ia adalah gambaran nyata rapuhnya posisi wartawan dan narasumber ketika berhadapan dengan kekuasaan lokal. Pertanyaan besarnya: apakah kerja-kerja jurnalistik akan mendapat perlindungan yang layak, atau justru menjadi jalan menuju kriminalisasi?
Leave a Reply